Dan jika berkata, berkatalah kepada aku tentang kebenaran persahabatan?..Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mesti terpenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau panen dengan penuh rasa terima kasih.

Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.
Karena kau menghampirinya saat hati lapa dan mencarinya saat jiwa butuh kedamaian.Bila dia bicara, mengungkapkan pikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “tidak” di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “ya”.

Dan bilamana ia diam, hatimu tiada ‘kan henti mencoba merangkum bahasa hatinya; karena tanpa ungkapan kata, dalam rangkuman persahabatan, segala pikiran, hasrat, dan keinginan terlahirkan bersama dengan sukacita yang utuh, pun tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, janganlah berduka cita; Karena yang paling kaukasihi dalam dirinya, mungkin lebih cemerlang dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.

Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya ruh kejiwaan. Karena kasih yang masih menyisakan pamrih, di luar jangkauan misterinya, bukanlah kasih, tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.

Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.
Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenal pula musim pasangmu.
Gerangan apa sahabat itu hingga kau senantiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?
Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!
Karena dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.
Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria berbagi kebahagiaan.
Karena dalam titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menemukan fajar jati dan gairah segar kehidupan.

sumber : http://zainurie.wordpress.com 

 

 

 

Oleh:Dedy T. Riyadi

Aku membenci kekerasan, tapi Mamat tidak. Dia sibuk memilih butir-butir batu di pinggiran jalan setapak kebun. Ditimangnya beberapa dari batu-batu itu sebelum dimasukkannya ke dalam saku celana. Dia menatapku seolah sedang mengancam seseorang yang ingin melarangnya.

 

Hei, apa salahku? Apakah salah jika aku sebagai seorang anak lelaki membenci kekerasan? Aku senang makan ayam atau bebek goreng, tapi bukan burung manyar. Mamat, Roji, dan aku memang suka berpetualang di dataran lapang kampung ini. Memanjati pohon-pohon, berenang di sungai sambil menangkap ikan, atau seperti sekarang ini; berburu burung manyar.

 

Aku lebih suka mengorek batang turi dan mengeluarkan ulat putih besar yang biasa kami sebut gendhon. untuk disate, daripada menangkap burung manyar yang sudah patah leher, pecah dada, atau bersayap sebelah, dan kemudian dibersihkan bulunya, isi perutnya, dan dibakar menjadi setusuk atau dua tusuk sate besar. Mamat dan Roji paling lahap memakannya.

 

“Enak lho! Kau tak mau coba?”
“Eh, ini masih ada darahnya! Puihhh!. Roji meludah.”

 

Aku tetap duduk mematung. Bergidik menyaksikan mereka makan daging burung manyar yang kemerahan dan belum sepenuhnya matang. Tiba-tiba saja mataku mengembun, dan pada sebatang pohon kepel tua, di dekat sungai, akhirnya kutumpahkan tangisan.

 

Jika aku menangis, aku teringat ibu.

 

“Run, kamu masih sayang ibu, bukan?”

 

Aku mengangguk lemah. Usiaku baru sepuluh tahun; belum bisa memahami apa yang terjadi di dalam rumah antara ayah dan ibu. Ayah jarang pulang, ibu tak pernah kelihatan senang. Ada mendung yang bergantung pada kedua bola matanya. Dan gerimis bahkan hujan tiba-tiba saja bisa menderas di pipinya. Melihat ibu menangis aku pun terkadang ikut menangis walau tak mengerti apa yang harus kutangisi.

 

Suara tangis ibu seperti riak sungai di kaki tebing di bawah pohon kepel berada. Suara yang perlahan tetapi berkesinambungan. Aku menduga sepenuh hidup ibu dipenuhi tangisan. Tak pernah ada senyum yang menghiasi bibirnya. Kadang aku rindu pada geligi putih yang selalu disembunyikannya. Rasanya sudah lama betul aku tak mendengar suara tawa ibu. Apakah memang beban yang disandangnya begitu berat? Benarkah semuanya gara-gara Ayah?

 

Ayah menghilang sejak pertengkaran itu. Pertengkaran hebat antara ibu dan ayah. Di ruang makan, semua barang berpindah. Piring-piring pecah berserak di lantai, juga dengan gelas, sendok dan nasi pun tumpah. Ibu bilang semenjak ayah terlibat organisasi, ayah tidak pernah lagi memperhatikan kami. Reaksi ayah adalah marah, dia balik menuding Ibu tidak pernah mendukung perjuangannya. Karena tak mengerti apa yang sedang terjadi, yang bisa kulakukan adalah membawa pergi adikku dan menenangkannya.

 

Tak lama berselang, peristiwa itu terjadi.

 

Hujan batu di rumahku. Di depan pintu, ibu berteriak-teriak menyuruhku kabur. Wajah dan tangannya berlumur darah. Aku dan adikku menangis sejadinya. Bingung antara ingin pergi atau menunggu apa yang akan terjadi.

 

Mereka mencari ayah. Seluruh bagian rumah kami digeledah. Barang-barang berharga dijarah. Dikeluarkan dan dibakar. Mereka sepertinya ingin membawa ibu pergi. Kaki-kaki mereka menendang, menyepak tubuh kami. Aku memberanikan diri mendekap ibu, merangkul adikku. Ibu dan aku berteriak kepada mereka; biarkan kami mati bertiga!.

 

Lalu tangisku, tangis ibu dan adikku terhenti ketika mereka berhasil menyeret kami hingga di halaman. Rupanya, mereka masih berbaik hati untuk menyingkirkan kami dari amarah mereka yang begitu meluap untuk membumihanguskan rumah kami.

 

Aku tercekat melihat api yang segera membubung tinggi. Sama seperti ketika Mamat dan Roji, teman main baruku di kampung yang tak mengenal asal-usul ibu, membakar sarang-sarang burung manyar yang mereka dapatkan dengan mengetapel pucuk-pucuk cemara. Ketika aku membantu mereka mengupasi sarang burung manyar yang terbuat dari gulungan daun cemara kering dan mendapati tiga ekor anak burung manyar hangus terbakar berpelukan.

 

Sepertinya anak-anak burung manyar yang begitu mungil dan masih tak berbulu sama seperti aku, ibu dan adikku yang pernah ingin membiarkan kami mati bertiga.

 

Kini, Mamat, yang masih berdiri memandangiku dengan tatapan seperti mengancam, melepaskan ketapel yang tergantung di lehernya dan melemparkannya ke tanah dekat kakiku.

 

“Aku bisa buat sendiri. Ketapelmu jelek! Ambil itu dan pergi!”

 

Roji mendekatiku dan mencibirkan bibir juga meleletkan lidah.

 

“Weeek! Penakut! Cengeng! Huuuu!”

 

Mereka berdua segera menghilang di rimbunan pepohonan. Aku terpaku, belum memilih antara ikut pergi bersama mereka atau pulang sendiri. Kampung ini penduduknya sangat jarang, dan tak banyak yang berkegiatan di luar. Di kampung ini tak banyak orang dewasa bisa ditemukan. Kalaupun ada orang dewasa dalam satu rumah, biasanya mereka bukanlah orangtua yang lengkap. Hanya ibu atau nenek. Selebihnya anak-anak seperti aku, Mamat dan Roji meskipun ada yang berusia lebih tua dari kami.

 

Kampung kami ini kampung perempuan dan anak-anak.

 

Aku tahu jika ayah memang pergi dari rumah, tapi Mamat bercerita kalau ayahnya dibawa pergi orang-orang gagah. Dia menyebut orang-orang gagah karena mereka berbadan tegap dan senjata-senjatanya mengkilat tertimpa cahaya bulan. Demikian pula dengan cara mereka berjalan. Berderap-derap bunyi sepatunya. Roji bilang Mamat tukang bohong, ayah Mamat dimasukkan ke dalam sebuah mobil berwarna hitam gosong. Matanya ditutup, kaki dan tangannya diborgol. Mamat mengacungkan tinju ketika Roji berkata seperti itu.

 

Bapakmu juga bukan? Dibawa pergi saat pulang dari pekan di kota. Kata orang-orang itu, bapakmu berbelanja bahan peledak!.

 

Roji hanya bisa mengisak jika Mamat sudah mulai teriak-teriak.

 

Tapi kini mereka sudah meninggalkanku, masuk ke dalam hutan kecil. Aku ingin segera pulang, pasti ibu sudah menungguku untuk segera mandi dan makan malam. Hanya saja aku tak ingin tersesat oleh bayang-bayang dedaunan yang menyilang-nutupi badan jalan setapak. Ah, kenapa aku tak pernah mendengarkan nasihat ibu untuk menghafalkan arah mata angin? Kalau sudah begini, apa yang hendak aku lakukan?

 

Pletak! Pletak! Pletak!

 

Ada batu-batu yang berterbangan di udara mengenai dedaunan dan bebatang pohon. Aku menduga Mamat dan Roji tengah menakutiku untuk segera pergi dari tempat itu. Yang aku tahu, aku harus berlari sekencang-kencangnya sambil menutupi kepalaku dengan kedua lenganku. Batu-batu pilihan Mamat tadi begitu bulat dan keras. Bisa-bisa tulang tengkorakku remuk jika terpapas. Dalam hatiku bergemuruh. Awas kau Mamat! Awas kau Roji!

 

Aku berlari sekencang-kencangnya, terkadang terjerembab oleh akar yang melintang atau meringis menginjak ranting yang jatuh. Aku terus berlari. Kini tubuhku dipermainkan oleh bayang dedaunan dan batu-batu yang dilontarkan. Awas kau Mamat! Awas kau Roji! Aku meneriakkan kata-kata itu berulang-ulang.

 

Gempuran batu itu mereda, aku terengah-engah hampir kehabisan nafas. Bajuku basah kuyup. Jantungku keras berdegup. Tak habis pikir kenapa mereka tega mengerjaiku seperti ini. Lalu mendadak ada bunyi berdebam. Sesuatu yang besar jatuh. Belum sempat aku mencari tahu apa yang terjatuh itu, terdengar lagi debam yang lain. Ada dua benda besar yang jatuh di sekitarku.

 

Kudengar juga suara yang sering aku dengar; suara Mamat dan Roji tapi mengaduh kesakitan dan minta tolong. Bbelum sempat aku bergerak mencari tahu di mana mereka berada, kudengar Mamat dan Roji berteriak panik; “Lari. Lari. Mereka datang lagi!”

 

Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Waktu itu aku ikut lari setelah melihat mereka berdua lari menuju ke arahku dengan muka pucat pasi. Setelah itu Mamat dan Roji tak bercerita. Mereka berdua jadi sangat pendiam, hingga aku tak pernah bisa tahu apa yang sebenarnya menyerang mereka di hutan kecil itu.

 

Dan setiap melihat burung, mereka tampak ketakutan, pucat pasi. Kasihannya mereka tidak sampai memangis, padahal kalau aku menangis, aku ingat ibu. Aku selalu senang mengingat ibuku, biarpun dia tak pernah tersenyum lagi.

 

Aku mencoba meniru Mamat dan Roji; ketakutan melihat burung biar aku menangis, biar aku ingat ibu. Tapi Mamat dan Roji tak mengetapel burung lagi, dan tak pernah membuatku menangis lagi.
***

 

Jakarta, Agustus, 2007

Sebut saja namaku andreas (bukan nama sebenarnya),,aku kuliah di perguruan tinggi negeri di Bogor. Aku mempunyai teman wanita yang sudah lama aku incar-incar.

Sebut saja namanya alexa(bukan nama sebenarnya). Waktu itu alexa dibawahku satu tingkat. Dia sering menyendiri jika jam kuliah sedang kosong, dan dia selalu menyendiri di taman tempat biasanya mahasiswa/i berkumpul untuk mengerjakan tugas kuliah, maklum bukannya mengerjakan tugas kuliah di rumah mereka lebih asyik mengerjakan tugas di kampus. Bukannya karena rsa solidaritas tapi mereka telah terbiasa contek dan terus mencontek….wadduuuuuh bagaimana bangsa ini mau maju laaah wong penerusnya saja seperti ini,,,

Kita kembali ke Laptot ”Sory mas Tukul Slogannya aku ambil”….Alexa sering duduk menyendiri di temani sebuah Ipod,,,dengan kesenangannya menyendiri aku jadi ingin mengenal dy lebih dekat, So aku tidak mudah mendekati seorang wanita, tak tahu mungkin karena ada perasaan malu atau tidak biasa menyapa wanita,,,tapi aku hiraukan hal seperti itu!!

Upzhh tidak hari ini mungkin besok, lusa, atau minggu depan,,,,atau mmmm!!!waaah sudah beberapa minggu aku tidak bisa memberanikan diri untuk mengenal wanita ini!!!aduuhh pusing,,,,

Aku mempunyai beberapa sahabat,tapi aku sering bermain dengan tiga sahabatku ini!!!

”Hei Ban BEMO,,,waduuuh kalian yach selalu saja bertiga,” sapa hendro salah satu temanku yang selalu usil

”Iya ada apa Drogba…”bukan pemain bola tapi memang mukanya hitam seperti Gerobak (Drogba maksudnya)…Tio sahabat baikku

”Elu yach gak pernah sopan sam kita bertiga,,loe kira muka kita kaya bemo”…Ryan (bukan nama sebenarnya)

”Sudah laaah tidak usah kalian hiraukan dy..”sapa aku kepada sahabat karibku…

Bersambung……

Sumber : muhamad_dzikri

Penulis : Gola Gong

 

Grace menatapku dengan kesal dan marah. Wajah cantiknya menyiratkan ketidakrelaan. Gadis Menado yang setahun ini jadi pacarku, tiba tiba saja merasa seperti tersengat listrik, saat aku memberitahu akan mengisi summer holiday ke Bogor.

“Bogor? You are so crazy!” Grace terbelalak. “Mau apa kesana?! Kota macet seperti itu!”

“Memangnya, kamu pernah kesana?”

“Yah, lewat sajalah! Waktu itu aku ada pesta di Puncak! Lewat kota itulah! Macetnya minta ampun!”

“Tapi, aku mesti ke Bogor!”

“Aku heran saja! Bagaimana bisa? Kalau Bali, that’s okay! But, ini Bogor! Mimpi apa kamu semalam? Apa istimewanya Bogor?”

“Aku ingin melihat negeriku, Honey.”

“Damn! Ini tidak masuk akal. Pasti ada alasan lain!”

Aku diam saja. Memang ada alasan lain. Tapi tidak akan aku beritahu dia. Bisa perang dunia keempat.

Grace gelisah. Tubuh bagian atasnya yang hanya memakai t-shirt ukuran sedada saja, sehingga kulit putihnya terlihat mencolok mata, dikipas-kipas dengan kedua tangannya. Udara bulan Juni di University of Kansas, sangat panas. Berbeda dengan panasnya di kotaku, Surabaya, yang lembab dan mudah berkeringat. Di Kansas sangat panas dan kering. Daun-daun yang mulai menguning, dua bulan lagi tinggal menunggu autum session, akan gugur menimpa areal kampus. Jika sudah musim gugur, suasana kampus akan sangat semarak dan berwarna-warni, karena itu berarti akan dipenuhi dengan beragam pakaian musim dingin. Ini yang aku suka, karena tubuh cewek kampus rata-rata terbalut busana tebal yang unik dan antik. Aku paling tidak tahan, jika pada summer time seperti sekarang ini, kemana saja mata memandang, wuaduuuh…

“Bogor..,” Grace menggelengkan kepalanya.

“Malu ‘kan, sebagai warga Indonesia, aku belom pernah ke sana!”

Beberapa mahasiswa lalu-lalang di areal Lawrence campus. Yang lelaki bule bertelanjang dada dan memakai celana bermuda. Kaos atau kemejanya diikatkan di pinggang. Beberapa ada yang menenteng skate board. Sedangkan cewek kampusnya memakai tank top. Udara kering. Panas menyengat. Aku dan Grace rebah-rebahan di rumput, di bawah pohon.

“So, kamu tetap tidak mau memberitahu alasannya, kenapa liburan ke Bogor?”

Aku menggeleng.

“Okey, jika itu maumu!” Grace bangkit dan meninggalkanku. Dave, room mate, menertawakanku. Dia juga sama, menyebut aku gila. Dave sendiri sudah punya rencana mengisi summer holiday dengan berjemur di pantai Cancun, Mexico. Kata Dave, cewek Mexico seksi-seksi kalau sudah berbikini di pantai. Apalagi jika berpesta di pantai malam-malam dengan bir dan hasis! Beberapa teman Indonesiaku malah memilih bekerja sebagai pelayan di restoran.

Papaku yang bekerja sebagai diplomat di Chicago juga merasa heran. Bukannya summer holiday diisi dengan jadi bagpacker; keliling Amerika, ini malah berlibur ke Bogor. “Kamu ini ada-ada saja, Feb! Kok, malah ke Bogor! Apa menariknya kota itu!”

Aku tersenyum. “Papa pernah ke Bogor?”

Papa melirik ke Mama. “Pernah nggak, ya?”

“Lewat saja. Sewaktu kita menghadiri seminar di Puncak. Lewat highway…Macetnya minta ampun….”

Grace juga cuma lewat dan macet juga disebutnya. Dari mama lantas meluncur gerutuan-gerutuan, bahwa biang kerok negeri kami memang kemacetan. Itulah yang selalu membuatnya urung pulang; menengok kampung leluhur di Surabaya.

Aku anak tunggal. Papa dan Mama tidak tertarik untuk memberiku adik. Mereka lebih asyik meniti karir. Papa di atase ekonomi, sedangkan Mama aktivis perempuan di mana saja dia berada. Tulisan-tulisannya tentang feminisme ala Asia mewarnai koran-koran setempat. Latar belakang ketimurannya membuat tulisan-tulisannya menarik. Aku pernah membaca tulisannya tentang emansipasi. Mama menyebut tentang sebuah nama, RA Kartini. Aku tidak tahu siapa wanita Jawa yang dijadikan istri kedua itu. Mama menulis, bahwa emansipasi pada dasarnya adalah pemberontakan kaum perempuan pada hegemoni lelaki. Tapi di Indonesia, hal itu hanyalah lip service belaka. Sekedar tren atau bahkan semu. Ah, itu bukan urusanku.

Kadang aku suka menganggap aku ini anak durhaka. Di paspor tertulis warga negara Indonesia, tapi kalau ditanya tentang kebudayaan negeriku, tak aku kuasai. Aku lahir di New Zealand. Kata Papa dan Mama, saat umurku dua tahun, pernah dibawa mereka ke tanah leluhur di Surabaya. Setelah itu, Papa lebih banyak berpindah-pindah ke negara lain sebagai diplomat. Paling lama di India, sekitar lima tahun. Aku menghabiskan masa remaja di New Delhi. Pernah pacaran dua kali dengan gadis India. Setelah itu setahun di Spanyol, Maroko, dan kini di Chicago. Aku sudah setahun di Kansas. Kuliah mengambil jurusan ekonomi. Tak ada waktu untuk pulang ke negeri leluhur. Itu mungkin karena kengerianku saja saat melihat tayangan-tayangan televisi di CNN; bom di mana-mana. Aku sudah jadi warga dunia, yang tak mengenal tanah leluhurnya; Indonesia. Papa dan Mama pernah berjanji, bahwa tahun depan akan berlibur ke Indonesia. Tapi mereka tidak tertarik menghabiskan hari tua di Indonesia. Mereka memilih suatu tempat di Italia.

***

 

Pesawat American Airways mengepakkan sayapnya, menembus angkasa. Pesawat nanti akan transit dulu di Dallas, lalu San Fransisco. Dari sini pindah pesawat ke Singapore Airlines. Pesawat transit lagi di Taipei, Singapura, dan tujuan terakhir Jakarta, ibu kota negeri leluhurku, yang belom pernah aku injak. Dua puluh dua jam mengambang di udara! Menyebalkan!

Dari kaca jendela, aku melihat Kansas City yang datar; ladang-ladang gandum menyebar di mana-mana. Warnanya kuning keemasan. Aku juga masih bisa melihat air mata Grace menitik di depan pintu masuk MCI – Kansas City International Airport. Aku tadi menghapus air matanya.

“Aku Cuma ke Bogor,” senyumku. “just a week!”

“Aku tahu, seseorang sedang menunggumu disana. A girl!”

“Please, jangan bersikap bodoh! Dewasalah!”

Grace tidak mengangguk. “We’ll see!” dia membalik, “Good bye!”

Aku tidak menjawab. Aku tatap dia sampai menyeberangi jalan dan menuju tempat parkir. Sampai dia masuk ke dalam mobil dan pergi. Mungkinkah ini akhir dari hubungan kami? Grace yang cantik dan manja. Dia tidak beda denganku, jadi warga dunia. Tapi, dia sering pulang berlibur ke Indonesia. Tempat yang paling dia gemari selain kampung halamannya; Menado, adalah Bali. Ke Jakarta? Grace mengacungkan dua jarinya. “ Tidak tahan macetnya!” begitu alasannya.

Burung besi terus menembus gumpalan awan-awan, menyusuri garis langit beribu-ribu mil jauhnya. Ini adalah perjalanan panjang udaraku. Indonesia, oh, Indonesia. Aku datang padamu. Kalau saja bukan karena Nicky, gadis SMA, yang sudah jadi sahabatku selama tiga bulan di internet, aku mungkin tidak akan datang ke Bogor, kota yang katanya sebagai kota satelit Jakarta.

Aku masih ingat, email terakhir yang Nicky kirim : Bogor adalah kota di mana kami bisa berbahagia. Kota hujan. Kota yang penuh dengan pohon tua dan ratusan rusa di istana. Datanglah jika kau mau. Aku akan membuat kamu mencintai negeri leluhurmu.

Ya, itulah rahasia besarku, kenapa aku sangat ingin pergi ke Bogor. Nicky, gadis itu. Papa, Mama, apalagi Grace, tidak aku beritahu soal ini. Konyol. Bahkan Dave, bule dari LA, yang mendambakan gadis Perancis dan ingin bungee jumping di menara Eiffel.

Nicky, entah kenapa aku tertarik ingin menemui gadis itu. Indonesian girl. Aku tersenyum sendiri. Sepanjang hidupku, aku baru berpacaran dengan gadis Indonesia, ya, Grace itulah. Tapi, Grace bukan gadis Indonesia asli. Dia sudah multikultur dan jauh lebih Amerika ketimbang gadis Amerika sendiri. Dan aku merasa bosan berpacaran dengan Grace. Tak ada sesuatu yang bisa mengisi relung hatinya. Hampa. Semu. Seperti jika dia sedang menenggak bir, lalu mabuk sesaat, setelah dibawa tidur, saat bangun, semua selesai. Tak tersisa.

Aku rogoh kantung luar tas punggungku. Ada beberapa lembar email dari Nicky, yang sengaja aku print. Aku baca lagi. Ada satu surat yang membuatku terusik atau merasa terganggu: Kau beruntung bisa mendapatkan apa yang kau mau. Semua fasilitas tersedia. Tapi, sadarkah kau, bahwa uang yang kau dan keluargamu pakai, juga semua keluarga yang bekerja di KBRI-KBRI seluruh dunia, adalah tak sepadan dengan kontribusinya terhadap negeri ini. Kau tahu, betapa beratnya hidup di negeri leluhurmu, yang tak punya status dan kehormatan atau kesempatan seperti yang kau dapatkan. Kau dan keluarga dengan enak menikmati semua fasilitas dari negeri leluhurmu, yang sedang sekarat dan carut-marut. Jika kau lulus kuliah nanti, apakah terpikir akan pulang dan membangun negeri leluhurmu? Aku yakin tidak.

Ada yang mengganjal hatiku. Ada yang membuatku penasaran tentang Nicky, yang wajahnya saja aku tak pernah tahu. Aku coba surfing tentang negeriku, terutama tentang Bogor. Yang aku dapati seperti ini : Kota Bogor secara geografis terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan, 68 kelurahan.

Itu saja. Aku pernah coba searching nama “Nicky”. Hanya ada satu nama Nicky yang populer, penyanyi rock “Nicky Astria”. Tak ada lagi. Berarti “Nicky”-ku adalah orang kebanyakan. Rakyat biasa. Apa dia perempuan? Aku pikir, iya. Aku bisa merasakannya dari kata-kata yang digunakannya. Pilihan katanya menggelorakan perasaan seorang perempuan.

 

***

“Ini istana Bogor,“ kata supir taksi. Dia meminggirkan taksinya di dekat trotoar. Sudah ada beberapa mobil berhenti. Aku belum mau turun dari taksi. Gila! Betul kata Grace dan Mama, bahwa kemacetan di kota Jakarta bukan lagi penyakit biasa, tapi sudah seperti kanker. Dari Soekarno-Hatta International Airport ke Bogor memakai waktu hampir tiga jam. Padahal jaraknya tidak lebih dari 70 kilometer. Lewat highway – supir taksi bilang tol Jagorawi – pula! Bagaimana ini?! Aku lihat, volume kendaraan tidak seimbang dengan beban jalan. Aku membaca di rambu-rambu, ada istilah “tree in one”, yang kata supir taksi itu untuk mobil-mobil pribadi. Dari supir taksi yang ramah, aku diberi tahu, bahwa orang-orang Jakarta lebih suka keluar dari rumah memakai mobil pribadi. Jika diandaikan sebuah keluarga mempunyai sepuluh mobil, berarti dari mulai ayah, ibu, anak bahkan sampai pembantu akan keluar memakai mobil masing-masing satu. Si ayah ke kantor, si ibu pergi arisan, si anak ke kampus atau ke sekolah, serta si pembantu pergi belanja untuk keperluan dapur. Untuk menghambat volume kendaraan, akhirnya diterapkanlah “tree in one”, agar mobil-mobil itu berfungsi baik, mengangkut penumpang dalam jumlah yang sesuai dengan bangku yang ada. Tapi, aku diperkenalkan lagi dengan “joki”; orang-orang yang berprofesi sebagai penumpang “tree in one”; untuk mensiasati peraturan itu. Wah, kreatif juga anak-anak negeri leluhurku itu.

“Bagaimana? Mau turun?”

“Sebentar, Pak,” kataku. Mataku melihat ke sekitar. Beberapa kendaraan berwarna hijau – kata supir taksi, itu angkutan umum! – berhenti sembarangan saja. Tidak peduli larangan stop atau malah lebih gila lagi, di tengah jalan! Supir-supir itu pasti tidak berpendidikan! Berhenti menurunkan penumpang di tengah jalan! Tidak di halte! Tubuhku lelah. Di angkasa dua puluh dua jam! Jet lag! Stress! Ingin marah, tak bisa apa-apa. Aku ingin tidur, tapi kepalaku pusing. Huh! Dimana kau, Nicky!

Aku melihat ke sisi kiriku. Pagar tinggi mengelilingi. Nun jauh ditengah-tengah, di antara batang-batang pohon besar, ada sebuah istana. Kata Nicky, itu adalah istana Bogor; tempat presiden pertama negeri leluhurku Ir. Soekarno, beristirahat. Kata Nicky lagi diemailnya, presiden kedua, Soeharto, tidak pernah beristirahat di istana ini. Ada lagi yang membuatku takjub, ratusan binatang bernama rusa dengan tenangnya berkeliaran. Bahkan beberapa ekor rusa menyembul di sela-sela pagar. Aku lihat beberapa keluarga turun dari mobil. Anak-anak mereka mendekati pagar dan memberi rusa-rusa itu makan. Aku jadi ingat email Nicky tentang rusa-rusa ini. Presiden keempat, Gus Dur, sering berpesta rusa di sini.

Aku rogoh saku. Aku beri tip. Supir taksi tampak gembira sekali. Tidak ada lima puluh dollar ongkosnya! Tidak ada masalah. Lalu aku buka pintu. Supir taksi membukakan bagasi. Ransel North Face digeletakkan di trotoar. Aku seret dan merapat ke dinding pagar. Beberapa orang sebayaku melintas. Ransel di punggungnya bermerek sama dengan ranselku. Wah, hebat juga! Aku betul-betul lelah.

Aku coba melihat ke balik pagar. Ratusan rusa bertebaran mengunyah rumput. Di seberang pagar ada sungai pembatas. Bening airnya. Beberapa ekor rusa turun untuk minum. Beberapa lagi menyeberangi sungai dan naik mendekati pagar. Anak-anak dengan tawanya yang riang memberi mereka makan sayuran.

Nicky, dimana? Di email terakhirnya, dia menyuruhku untuk menunggu di depan istana Bogor. Di trotoar. Sambil melihat anak-anak sedang memberi makan pada rusa. Dia akan datang memakai mobil berwarna hijau. Aku lihat tadi, begitu banyak mobil berwarna hijau. Kata supir taksi tadi, itu kendaraan umum. Semua yang ditulis Nicky sama persis dengan yang aku lihat sekarang. Aku lihat jam; pukul dua belas siang! Panas! Tapi tubuhku berkeringat; terasa segar. Sudah dua botol air mineral aku minum habis.

Aku mencoba memetik ranting daun dari pohon trembesi, yang menjuntai. Aku sodorkan lenganku melewati celah pagar. Mulut rusa mengunyahnya. Asyik juga. Di Kansas hal ini tidak pernah aku lakukan. Aku lihat di sebelah kananku seorang gadis dengan wajah ditutup kain – kata Mama itu adalah jilbab, pakaian khas orang yang beragama Islam- sedang membagi-bagikan sayuran pada anak-anak. Gadis itu seumuran Grace, membawa sekantung plastik sayur-sayuran. Walaupun aku hanya bisa melihat sebagian wajahnya, aku merasa pasti bahwa dia cantik sekali. Di belakangnya ada seorang junior high school, juga membagi-bagikan sayuran untuk makanan rusa. Aku yakin, anak kecil itu adik dari gadis berjilbab.

“Mau sayurannya?” tiba-tiba saja gadis berjilbab itu sudah berdiri di depanku.

“For Free?” aku kaget.

Si gadis tersenyum, “Yap! For Free! Gratis alias teu kudu mayar!”

Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat terakhir yang agak aneh di telingaku; gratis dan teu kudu mayar! Gratis, aku tahu. Tapi, “teu kudu mayar?”

“Sama saja artinya, for free!” dia tertawa.

Aku tersenyum, “Thanks!” Aku ambil beberapa ranting.

“Kapan datang?”

Tangan aku tarik lagi. Tapi mulut rusa sudah memakan sayurannya. Aku lepaskan sayuran itu. Aku tatap si gadis berjilbab. “You must be Nicky!” aku merasa surprise.

Dia tertawa.

Aku menyodorkan tangan; bermaksud berjabatan tangan. Tapi, Nicky menyatukan kedua telapak tangannya di dada dan tersenyum. “Selamat datang di kota Bogor,” katanya.

Aku gugup. Dia tidak menjabat tanganku. Apakah aku membawa penyakit menular? Tapi, dari senyumnya, aku yakin Nicky tidak bermaksud menghinaku.

“Pasti capek, ya?” tanyanya.

“Iya. Very tired!”

“Kenalkan, ini adikku,” Nicky mengenalkan anak kecil, yang masih membagi-bagikan sayuran ke anak-anak.

Aku tersenyum pada adiknya. Aku betul-betul kikuk.

“Ayo, kamu check in dulu!”

Aku mengangguk.

“Jalan kaki saja, ya.”

Walaupun aku capai, aku menurut saja. Aku sandang ransel di punggungku. Aku berjalan di sisinya. Tapi Nicky menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat. Adik lelakinya berjalan dibelakangku; kesannya mengawal kami. Tapi Nicky asyik-asyik saja.

“Wajahmu nggak bule-bule amat!”

“Papa dan Mama asli Indonesia!”

“Iya juga, ya!”

“Adikmu…, ikut kita?”

“Yap!”

Aku menyeret kakiku, berjarak sekitar dua meter di sebelah Nicky. Kalau berjalan bersama Grace di Kansas, lain sekali. Kami biasa berpelukan. Bahkan berciuman bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi, dengan Nicky, yang berjilbab. Aku merasa tidak pantas berjalan di sisinya. Aku jadi serba salah.

“Malu ya, jalan dengan aku?”

“Oh, no, no!” Aku kaget. Aku tidak ingin jauh-jauh datang ke Bogor, mengambang dua puluh dua jam di udara, hanya meributkan soal keyakinan seseorang. Aku sendiri bingung, memeluk agama apa. Papa dan Mamaku tidak pernah menyuruhku untuk memeluk agama apa pun. Aku perhatikan saat lebaran, Papa dan Mama ikut halal bihalal di Konjen. Begitu juga natal dan tahun baru. Agama kami berarti apa saja. Di kampus, hampir kebanyakan agamanya, ilmu pengetahuan.

“Ayo!” Nicky memasuki sebuah rumah tua. “Murah-meriah!”

Aku baca nama hotelnya : Wisma Pakuan – Home stay. Nyaman juga. Tidak berisik. Aku justru menyukai penginapan seperti ini. Terasa seperti sedang di rumah. Sepanjang hidupku, aku selalu berpindah-pindah dari satu apartemen ke apartemen lain. Di Kansas, aku tinggal di asrama, bersama Dave, yang kalau tidur mendengkur! Tak ada aturan apa-apa!

 

***

 

Aku berjalan-jalan di Kebun Raya, Bogor. Ini adalah paru-paru kota. Aku suka sekali. Di tengah kebisingan kota dengan keberadaannya yang kacau-balau, ada hutan dengan pohon-pohonnya yang sudah tua. Nicky berjalan disebelahku, agak menjauh seperti biasa. Dan adik lelakinya, berjalan di belakang; mengawal kami.

“Kamu janji siang ini akan mengajakku kerumahmu.”

“Oke!”

“Sudah jam satu!”

“Tapi, aku masih betah di sini! Kebun Raya ini bagiku seperti surga. Aku lupa dengan segala masalah yang ada di kotaku ini.”

“Tapi, kemarin kamu janjinya hari ini.”

“Kenapa kamu begitu ingin kerumahku?”

“Lantas, untuk apa pula aku terbang selama dua puluh dua jam dari Kansas ke sini?”

“Mengisi summer holiday-mu!”

“Aku bosan! Selama dua hari ini hanya melihat rusa Bogormu dan kebun Raya ini! Ditemani adikmu pula!”

“Aku tidak menyuruh kamu ke sini, lho,” Nicky tersenyum. “Kamu yang menginginkan liburan musim panasmu di sini. Aku hanya jadi guide saja.”

Aku duduk di bangku. Meminum air mineral. Angin sepoi menyejukkan hati. Mungkin aku sudah sinting. Jauh-jauh datang ke Bogor dari Kansas, hanya untuk melihat rusa Bogor dan kebun Raya. Tapi, Nicky semakin jadi magnet buatku. Semakin aku ingin pulang ke Kansas, semakin aku tak ingin meninggalkan Bogor. Ada yang kukagumi dari diri Nicky, yaitu keteguhan hatinya. Dia membuatku kagum dan harus menghormati atas segala sikapnya. Dia sama sekali tidak mau aku sentuh, walaupun hanya bersalaman atau untuk aku seberangkan, jika lalu-lintas sedang padat. Zebra cross di sini tidak jadi jaminan orang akan nyaman dan aman menyeberang. Tapi, Nicky lebih memilih meminta tolong adiknya.

Sore hari, dengan naik mobil berwarna hijau, yang ternyata lelucon Nicky, bahwa mobil itu memang angkutan umum, kami sampai di rumah Nicky. Rumahnya ada di bawah, di celah lekukan antara dua bukit. Kota Bogor ini berada di kaki gunung Salak. Rumahnya berhimpitan dengan rumah-rumah yang lain, tapi tidak terasa sesak. Banyak tanaman hias bergantungan dari tiang-tiang rumah. Kecil dan mungil. Halamannya tidak luas, hanya sekitar dua meteran.

“Mana orang tuamu?” tanyaku, karena rumahnya kosong. Hanya ada adiknya saja.

“Ayah dan ibuku sudah tidak ada. Kami hanya hidup berdua,” suaranya riang saja.

Aku terpana, “Kalian hidup berdua?”

“Iya.”

Adiknya muncul membawa dua gelas minuman teh manis panas.

“Bagaimana kalian membiayai hidup?”

“Kami dapat beasiswa. Aku juga nyambi jadi guide. Setiap aku berhasil membawa tamu menginap, aku mendapat komisi.”

Aku tercengang. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Pertemuanku dengan Nicky membuatku seperti berada di dunia lain, yang tidak pernah aku rasakan. Ada nilai-nilai yang selama ini aku abaikan. Nilai kemanusiaan yang utuh, yang tak pernah aku rasakan di Kansas, bersama teman-teman di kampusku. Bersama dengan Grace, pacarku. Bahkan bersama Papa dan Mama. Uang begitu mudah aku peroleh dan aku hambur-hamburkan sesuka hati.

Saat pesawat lepas landas dari Soekarno-Hatta International Airport, perasaanku tak bisa aku gambarkan. Sulit untuk aku ceritakan pada kawan-kawanku di Kansas tentang segala yang aku lakukan bersama Nicky. Juga pada Papa dan Mama. Begitu berat meninggalkan Bogor. Begitu berat meninggalkan Nicky. Aku tidak tahu, apakah ini cinta? Ah, terlalu pagi. Yang hanya bisa aku ingat dari Nicky adalah keriangan dan kesederhanaan serta harga dirinya yang tinggi. Begitulah seharusnya seorang wanita, dia harus seperti pualam. Mahal dan tidak bisa sembarangan disentuh.

 

Diambil dari buku antologi cerpen berjudul “Addicted 2 U” yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena.

Dapatkan bukunya dan ikuti cerpen-cerpen pilihan karya Asma Nadia, Gola Gong, Hilman dan lain-lain.

Penulis : Hara Hope*

Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.

Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.

Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.

“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.

Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.

Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).

Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.

“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.

”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.

”Barangkali saja itu pertanda.”

”Bahwa Lala jodoh saya?”

”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”

Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.

Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.

”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.

”Ah, adikmu itu takkan mau.”

”Tapi…”

”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”

“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”

Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.

”Kupercayakan semua itu padamu.”

Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.

***

Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.

“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.

”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”

Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.

“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.

***

Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.

”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.

Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.

”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.

”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”

Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.

Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.

Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.

“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”

Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.

“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”

Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.

Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.

Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.

Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.

”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.

Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.

Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.

***

Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.

”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”

Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.

”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!

”Rasanya Azisa bukan jodohku.”

Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.

”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.

”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”

Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.

”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”

”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”

Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.

”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”

Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.

Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.

“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”

Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.

“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”

Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?

Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.

* Juara Harapan IV Lomba Menulis Cerpen Ummi 2004.

Sumber : Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H

1. Memang tidak ada nafsu tehadap perempuan.

2. Ada pengalaman pahit dalam bercinta. Mungkin ditinggalkan kekasih sehingga wujud perasaan tidak mempercayai perempuan lagi.

3. Dilahirkan dalam keluarga yang porak poranda atau pernah melihat kekejaman ayah tehadap ibunya.

4. Terlalu mencintai seseorang dan apabila cinta itu tidak kesampaian, terus hilang selera untuk barumah tangga.

5. Takut tidak bahagia bila berumah tangga nanti.

6. Meragui kemampuan seksualiti sendiri.

7. Merasakan lebih bebas dan senang hidup sendiri.

8. Terlalu sibuk dengan pelajaran atau pekerjaan.

9. Bimbang tidak bisa membahagiakan isteri dan takut mendapat anak cacat atau tidak cemerlang sebagaimana dirinya.

10. Senantiasa merasa tidak bersedia dari segi kemampuan material dan takut pasangan kecewa tidak dapat apa yang mereka inginkan.

Tambahan:

Bagi saya, kebanyakkan mereka ini membujang mungkin sebab tidak yakin pada diri sendiri. Mereka sebenarnya mampu untuk memikat hati wanita tetapi mereka segan dan malu.

Sumber: http://www.tentangcinta.com/”Tentang Cinta

Sebelum ini kami telah meng-post-kan artikel berkaitan dengan Tersurat dan Tersirat wanita. Sekarang ini, wanita pulak perlu baca pasal lelaki.

– Lelaki juga boleh menjadi seseorang yang begitu sensitif dan mengambil berat (perihatin).

– Jika seseorang lelaki meminati wanita, wanita itu tidak semestinya cantik. Cukup dengan budi bahasa dan kesopanan yang tinggi. Malah lelaki boleh menyukai wanita yang mempunyai banyak persamaan dengannya samada dari segi pemikiran atau minat. Oleh itu, banyak yang boleh dibualkan atau dikongsi bersama.

– Kebanyakan masa, lelaki sebenarnya tidak mengetahui perasaan sebenar yang dirasakan oleh seorang wanita.

– Lelaki boleh menerima penolakan dengan baik.

– Lelaki cuba menonjolkan sikap kelakiannya untuk menambat hati wanita.

– Lelaki memang dilahirkan dengan perasaan yang kuat terhadap wanita. Sebab itu mereka suka melihat wanita, menjeling wanita dan menonton Baywatch! Atau mencuci mata di tepi pantai atau swimming pool.

– Kebanyakan lelaki resah bila berhadapan dengan situasi ingin mengajak wanita keluar kali pertama!

– Lelaki cuba meniru gaya selebriti atau berlagak macho hanya kerana ingin memikat hati wanita.

– Bila lelaki cakap..”Emm..tengoklah dulu”..itu seringkali bermaksud dia berkata tidak atau kurang setuju.

– Bila lelaki cakap direct to the point dalam sesuatu hal, dia sebenarnya ingin bersikap jujur dan berterus-terang dan mengharapkan wanita memahami maksudnya.

– Kebanyakan lelaki yg nampak ‘desperate’, datang dari sekolah all boys! (how true)

– Adalah biasa lelaki cemburu terutamanya apabila perempuan asyik menyebut nama lelaki lain.

– Lelaki tak boleh belajar kesemuanya pasal perempuan dari library atau buku semata2. Oleh itu mereka selalu keliru dengan sikap perempuan..dan tak faham kenapa perempuan bersikap begitu begini…

– Kadang-kadang lelaki perlu mengetahui lebih mendalam tentang bagaimana berhadapan dengan perempuan supaya hubungan dapat berjalan dengan lebih baik.

– Betapa hebatnya lelaki itu bersikap romeo dan ‘flirting’ dengan ramai wanita..dia tetap hanya ada seorang teman wanita yg istimewa…yang lain hanya kawan..

– Bila lelaki tertengok dada wanita dan wanita itu menyedari…maafkan saja. Kebanyakan lelaki tak sengaja….Mereka merasakan kejadian wanita itu begitu indah!

– Bila sesuatu hubungan putus di tengah jalan, lelaki juga rasa bersedih..cuma dia tak menunjukkannya kesedihannya di depan orang.

– Bila seorang perempuan meminati seorang lelaki, perempuan itu patut bagi hint! Mana tau lelaki itu juga menaruh minat. Senang usahanya nanti…

– Adalah memalukan bagi lelaki jika tak berupaya menolong wanita. Kebanyakan lelaki cukup lemah dgn air mata perempuan. Mereka lebih tewas sekiranya air mata itu mengalir dari perempuan yg dikasihi. Sebab itu dikatakan air mata senjata perempuan. Lelaki bukanlah sempurna 100%, walau bagaimanapun rupanya atau pandangan luarannya. Jadi, perempuan janganlah mengharapkan semua yg hebat dari lelaki! Mereka juga normal dan mempunyai kelemahan!

Sumber: http://www.tentangcinta.com/”Tentang Cinta

Macam mana kita nak buat kalau bila kita call dia je kan, dia tak angkat. Lagi-lagi masa tu dia tengah merajuk dengan kita. Dah berkali-kali ni kita call, dia tak nak angkat jugak. So apa yang perlu kita lakukan.

1. Berikan dia masa untuk bertenang. Selalunya orang yang merajuk ni memang payah nak pujuk. Habis jenuh kita call pun tak guna. So lebih baik berikan dia masa untuk dia rileks dan tenangkan perasaan dia.

2. Hantarkan mesej-mesej pujukan manja supaya hati dia akan lembut semula. Memang dia tidak angkat call kita tetapi dia mesti akan baca mesej-mesej yang kita bagi punya.

3. Ucapkan kata-kata maaf bahawa memang diri kita yang salah. Selalunya dia tak angkat call disebabkan dia merajuk atau tidak suka dengan perbuatan kita. Oleh itu, minta maaf lah dengan dia. Tak salahkan kalau kita nak mohon maaf?

4. Kalau dia tak angkat jugak, maybe dia ada masalah atau ada kerja yang perlu diselesaikan dan tak sempat untuk bagitahu kita. So berikan la dia masa untuk dia menyelesaikan kerja-kerja dia. Kalau boleh, hantar la mesej cakap yang kita nak temankan dia buat kerja sama-sama. D

5. Untuk yang no 5 ni saya nak anda pulak berikan tips-tips bagaimana nak buat kalau dia tak jawab call. Sila la berikan tips anda melalui komen di bawah ini.

ps: Tapi kalau dia off telefon, kita janganlah berputus asa. Tunjukkan bahawa kita memang sayang dan cinta pada dia.

Sumber : http://www.tentangcinta.com/”Tentang Cinta

Anda mungkin tidak mempercayainya, tapi merupakan nasihat yang baik untuk dibaca!
Anda mungkin mempelajari sesuatu jika membacanya!!!PERTAMA.
Bersedekahlah kepada orang lain lebih daripada yang mereka perlukan dan lakukanlah dengan penuh kerelaan.

KEDUA.
Kahwinilah lelaki / wanita yang gemar anda berbicara dengannya, kerana kemahiran berbicara antara satu dengan lain akan menjadi lebih penting pabila usia semakin tua.

KETIGA.
Usahlah mempercayai segala perkara yang anda dengari. Berbelanjalah sekadar apa yang ada atau tidurlah seberapa lama yang anda perlu

KEEMPAT.
Apabila kamu berkata, ” Aku Cinta Padamu”, maka tunaikanlah.

KELIMA.
Pabila mengatakan, “Maaf”, tenunglah matanya.

KEENAM.
Bertunanglah sekurang-kurangnya enam bulan sebelum kamu diijabkabulkan.

KETUJUH.
Percayailah cinta pandang pertama.

KELAPAN.
Usah tertawakan impian orang lain. Manusia tanpa impian tidak memiliki apa-apa.

KESEMBILAN.
Cintailah seseorang dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang. Sungguhpun anda akan berasa seolah-olah diri anda tersiksa, tapi percayalah itulah satu-satunya untuk melengkapkan kehidupan ini.

KESEPULUH.
Jika berlaku perselisihan pendapat, bertengkarlah secara aman. Usahlah menyebut nama sesiapa ketika bertengkar.

KESEBELAS.
Usahlah menilai seseorang berdasarkan peribadi keluarga mereka.

KEDUABELAS.
Berbicaralah dengan tenang dan berfikirlah dengan pantas.

KETIGABELAS.
Apabila seseorang bertanyakan satu soalan yang tidak anda gemari, lontarkanlah senyuman dan bertanyalah padanya,”Kenapa anda ingin tahu?”

KEEMPATBELAS.
Ingatlah bahawa setiap cinta dan pencapaian yang besar akan melibatkan pengorbanan dan risiko yang besar.

KELIMABELAS.
Ucaplah “Semoga anda diberkati” apabila mendengar seseorang bersin.

KEENAMBELAS.
Apabila anda kerugian, janganlah jadi kurang ajar.

KETUJUHBELAS.
Berpeganglah kepada tiga R:
* Rasa hormat pada diri sendiri;
* Rasa hormat kepada orang lain;
* Rasa tanggungjawab terhadap semua tindakan anda

KELAPANBELAS.
Usahlah benarkan pertikaian yang sebesar hama merosakkan sebuah persahabatan yang besar.

KESEMBILANBELAS.
Apabila menyedari bahawa anda telah melakukan kesalahan, usahlah berlengah untuk perbetulkan kesalahan itu.

KEDUAPULUH.
Tersenyumlah ketika menjawab telefon. Pemanggil akan melihatnya daripada suara yang mereka dengar.

KEDUAPULUH SATU
Ada ketikanya anda perlu bersendirian

Sumber: Isu Hangat

Mempercayai seseorang bukanlah mudah sebenarnya. Jika baru mengenalinya tentu perasaan sangsi akan timbul dari sanubari. Ada juga yang sudah lama mengenali tapi masih juga belum mempercayai. Dalam satu perhubungan, tidak wajar sekiranya kamu masih tidak ada kepercayaan terhadap si dia. Walaupun mungkin kamu tidak akan mempercayai si dia seratus peratus, tapi tak salah kalau kamu meletakkan anggaran dibawah 70 peratus keyakinan kamu terhadapnya. Tapi mudahkah kamu melakarkan kepercayaan terhadap si dia? Sebenarnya ada faktor-faktor yang boleh menimbulkan kepercayaan.

Faktor 1 – Konsisten
Kamu mempercayai apa yang dilihat dan didengar tanpa syak wasangka. Bagi kamu apa yang dibicarakan tidak perlu disangsi kerana ianya ada kebenaran serta boleh mendatangkan kebaikan dalam perhubungan kamu. Tapi berhati-hatilah kerana mungkin dengan cara ini si dia boleh ‘menjerat’ kamu. Siapa tahukan!

Faktor 2 – Boleh dikawal
Perkara-perkara yang bagi kamu adalah konsisten membuatkan kamu boleh menganggap adakah si dia boleh dikawal ataupun tidak. Contohnya, si dia akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan dan boleh menerima pendapat kamu. Maknanya kamu boleh ‘mengawal’ dirinya dari melakukan perkara yang tidak kamu sukai. Bukanlah bermakna kamu boleh mengongkongnya tetapi jika si dia menuruti kehendak kamu ini bermakna si dia mempercayai kamu dan tidak ragu-ragu dengan cara kamu.

Faktor 3 – Komitmen
Komitmen bukanlah sekadar menepati janji, tapi juga menghargai perjanjian yang telah dipersetujui bersama. Jika kamu ataupun si dia berani berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam perhubungan , tentu saja perhubungan kamu ceria dan aman. Sikap saling mempercayai yang wujud dalam diri masing-masing akan mewarnai lagi perhubungan kamu itu. Malah ianya akan membuatkan si dia lebih yakin dengan kejujuran kamu terhadapnya. Jadi tiada alasan untuk si dia berlaku curang terhadap kamu.

Faktor 4 – Kejujuran
Kejujuran memang perlu untuk menjamin sebuah perhubungan yang bahagia. Kamu juga tidak patut menyembunyikan perkara-perkara yang sepatutnya diketahuinya. Jika kamu dan si dia jujur , ini membolehkan kamu berdua tidak takut untuk berbahas kerana berpendapat ianya juga untuk kebaikan bersama. Walaupun adakalanya tercetus pertengkaran kecil kerana masing-masing ingin mengutarakan pendapat sendiri, tetapi akhirnya mengambil keputusan untuk memilih pendapat yang terbaik demi menjamin perhubungan yang stabil.

Faktor 5 – Terima seada-adanya
Kunci keintiman dalam suatu perhubungan adalah menerima seadanya baik buruk pasangan kamu. Bila hati sudah suka dan sayang, tentu saja kamu sanggup menerimanya walaupun menyedari tentunya ada perkara-perkara negatif tentangnya. Namun begitu, tentunya kamu dan si dia berusaha untuk berubah jika terdapat sikap-sikap yang tidak disenangi hingga boleh menjejaskan perhubungan. Usaha kamu dan si dia ini menampakkan kesungguhan yang amat ketara demi menjamin perhubungan.

Faktor 6 – Perlu dimengertikan
Sebahagian besar individu menginginkan pasangan yang tidak hanya mendengar pendapat sebelah pihak. Malah harus bijak mengutarakan pendapat sendiri. Kamu juga tentunya berharap agar si dia mengerti tentang pandangan kamu terhadap pelbagai perkara. Jika tidak, mungkin perhubungan hanya mendatar saja. Bukan itu saja, kemarahan juga boleh timbul ekoran perasaan yang tidak dimengertikan dan menganggap diri kamu tidak dihargainya.

Faktor 7 – Simpati
Simpati adalah usaha untuk memberikan pengertian yang lebih mendalam, seakan berusaha menempatkan diri kita di dalam emosi si dia. Sebenarnya tidak mudah melakukan perkara ini. Tapi bila dapat menimbulkan simpati, kebanyakan pasangan mampu mengatasi perkara-perkara yang boleh menimbulkan pertengkaran dan perselisihan pendapat kerana memahami sesuatu yang boleh mengganggu hubungan.

Faktor 8 – Diyakini
Bila rasa yakin, kamu boleh memberi pandangan bersama si dia. Baik dalam hal-hal remeh temeh hinggakan ke perkara yang serius. Kamu akan merasa si dia bukan saja mendengar malah akan menyimpan rahsia kamu. Apa yang penting kamu juga harus mengetahui dan berkeyakinan adakah si dia memang boleh menyimpan rahsia ataupun tidak!

Faktor 9 – Perbezaan pendapat
Memanglah tak dapat lari dari perbezaan pendapat antara kamu dan si dia. Mereka yang berusaha terlalu keras untuk menyangkal atau takut mengakui bahawa dirinya berbeza pendapat dengan pasangannya selalunya seorang yang tidak berani menghadapi kenyataan. Tak mungkin akan selalu sama pendapat sebaliknya mampu berkompromi untuk menunjukkan kedewasaan masing-masing.

Faktor 10 – Elakkan dendam
Cinta sejati akan diwarnai oleh pengertian dan rasa untuk dimaafkan. Kerana dendam boleh menjadi punca kehancuran sesebuah perhubungan. Walaupun pernah dilukai, namun perasaan dendam ataupun membalas balik mungkin tidak akan terlintas dalam fikiran. Bagi diri kamu, mungkin berdendam bukanlah jalan penyelesaian yang terbaik malah ianya akan memburukkan lagi keadaan. Oleh sebab itulah kemaafan adalah perkara yang terbaik untuk menjernihkan suasana.

Faktor 11 – Berfikiran terbuka
Banyak pasangan merasakan tidak perlu untuk mengungkapkan secara lisan apa yang ada dibenaknya. Walaupun hakikatnya perkara itu sangat penting dan perlu disampaikan secepat mungkin bagi menggelakkan perkara yang tidak diingini akan berlaku. Oleh sebab itulah, jalan yang terbaik ialah setiap individu harus berfikiran terbuka. Bukannya harus menerima pendapatnya tanpa perlu berfikri panjang sebaliknya kita harus mendengarnya dahulu dan barulah membuat keputusan. Tak semestinya apa yang dikatakan tidak elok begitu juga sebaliknya.

Faktor 12 – Tulus dan jujur
Ketulusan dan kejujuran memainkan peranan yang penting dalam sesebuah perhubungan. Bukan saja dari segi perbuatan malah juga percakapan. Apa yang ingin disampaikan haruslah dengan niat sejujur yang mungkin dan bukanlah hanya untuk melindungi kesilapan. Pilihlah kata-kata yang sedap didengar dan senang dimengertikan. Melalui komunikasi, kita juga boleh ‘menangkap’ adakah si dia jujur dan tulus ataupun sebaliknya.

Faktor 13 – Tak selalu didampingi
Bukan semua orang sukakan kekasihnya sentiasa disisi. Ada juga yang inginkan sedikit kebebasan dan asal bijak mengawal diri itu sudah cukup memadai. Apa yang penting, jika si dia tidak menemani kamu, jangan pula berfikir yang bukan-bukan dan mulalah menganggap yang si dia sengaja mahu mengabaikan kamu. Singkirkan perasaan ini kerana ini bukanlah niatnya sebaliknya ingin memberikan kamu sedikit ruang untuk menjalani aktiviti sendiri.

Faktor 14 – Jauh di mata dekat di hati
Saat terpisah dek jarak yang jauh sebenarnya banyak mengajar kita erti rindu yang sebenar. Walaupun tempohnya agak lama, haruslah mempercayai jarak dan waktu tersebut tidak akan memisahkan diri kamu dan si dia. Perasaan ini harus wujud walaupun tidak selalu dapat bersua namun perasaan saling merindu dan menyayangi akan menguatkan lagi perhubungan kamu itu. Apapun teguhkan hati dan pendirian kamu bahawa hanya cinta si dia sahaja yang bertakhta di hati.

Faktor 15 – Persamaan
Persamaan antara kamu berdua akan menguatkan lagi rasa cinta bila masing-masing yakin bahawa hubungan itu diimbangkan dengan prioriti utama. Jangan hanya mementingkan hak seorang diri saja dan haruslah mengambil berat tentang kedua belah pihak. Sebenarnya kamu berdua saling memerlukan antara satu sama lain untuk memastikan keseimbangan dalam perhubungan.

Faktor 16 – Tak saling menyalahkan
Tak selalu hubungan yang terjalin berjalan lancar dan adakalanya ia akan ‘bergegar’ jua. Hubungan cinta yang lancar haruslah tidak dilandasi sikap saling menyalahkan. Apa yang terjadi merupakan interaksi dari dua pihak yang memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat dan keinginan yng berbeza. Menyalahkan antara satu sama lain bukanlah boleh menyelesaikan masalah sebaliknya akan menjejaskan lagi hubungan. Keegoan mungkinlah penyebab mengapa kamu dan si dia saling menyalahkan antara satu sama lain.

Faktor 17 – Hormat-menghormati
Saling hormat-menghormati adalah dasar perhubungan yang positif. Kamu harus menghormati si dia dan begitu juga sebaliknya. Tapi jangan kerana terlalu menghormatinya hinggakan kamu berasa amat segan dengannya. Ini akan mendorong rasa malu dan segan untuk meluahkan apa yang kamu pendamkan dan membuatkan hubungan kamu sukar untuk berkembang. Oleh sebab itulah kamu perlu membatasi rasa hormat dan segan terhadap si dia.

Faktor 18 – Penghargaan
Tidak salah sekiranya kamu menghargai si dia. Bukannya hendak menyanjung tinggi ataupun terlalu memuja dirinya. Tetapi biarlah sekadar si dia tahu yang kamu amat mengharagi kasih dan dirinya. Caranya? Emmm… hanya kamu saja yang tahu bagaimana kerana lain orang lainlah caranya. Apapun kalau kamu memang sayangkannya, jangan segan silu untuk menunjukkan perasaan kamu serta jangan lupa harga perasaan dan dirinya.

Faktor 19 – Bukan materialistik
Bayangkanlah kalau kamu seorang yang materialistik? Mesti kekasih kamu ‘pokai’ dibuatnya. Mana taknya kalau kamu minta yang bukan-bukan. Dalam perhubungan, jangan sesekali kamu menjadikan wang sebagai punca utama mengapa kamu memilih si dia. Jika ianya terjadi, hubungan kamu mungkin sukar bertahan lama dan membuatkan si dia akan berprasangka terhadap kamu.

Faktor 20 – Perancangan bersama
Manusia hanya mampu merancang tapi Tuhan yang menentukan segalanya. Tapi ada bagusnya kalau kamu dan si dia merancang sesuatu untuk menjamin kebahagian. Tentunya kamu sendiri inginkan yang terbaik demi masa depan bersama. Bukan mudah untuk mencipta kebahagiaan dan mengecapi kegemilangan dalam perhubungan. Pastinya semua mengimpikan sesuatu yang indah dalam perhubungan. Begitu juga kamu bukan? Apa perancangan kamu agaknya ye?

Sumber: Sharing is Caring